Ma’had Aly Al Fithrah — Kepala Perpustakaan Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya, Muhammad Romli, mengikuti kegiatan Pelatihan Pengelolaan Perpustakaan Berbasis Pesantren yang diselenggarakan oleh UPT Perpustakaan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember. Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari, Senin–Rabu (20–22/10/2025), di Aula Perpustakaan UIN KHAS.

Pelatihan ini diikuti oleh 53 peserta dari berbagai pondok pesantren di Jawa Timur, mencakup wilayah Jember, Banyuwangi, Lumajang, Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan, hingga Surabaya. Kegiatan ini menjadi salah satu rangkaian dalam menyambut peringatan Hari Santri Nasional 2025, sekaligus bagian dari upaya memperkuat tradisi literasi di lingkungan pesantren.

Kegiatan pelatihan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas pengelola perpustakaan pesantren dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman. Fokus pelatihan diarahkan pada penguatan literasi pesantren, pelestarian manuskrip kuno, serta digitalisasi koleksi. UIN KHAS Jember sendiri menjadi PTKIN pelopor dalam pengembangan literasi dan pelestarian khazanah pesantren berbasis digital.

Kepala Perpustakaan Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya, Muhammad Romli, menyampaikan bahwa pelatihan ini menjadi langkah penting untuk menjaga tradisi tulis ulama serta meningkatkan kemampuan pengelolaan perpustakaan pesantren.

“Acara ini diselenggarakan dalam rangka melestarikan manuskrip kuno pesantren serta peningkatan SDM literasi pesantren agar senantiasa mampu menjawab tantangan zaman,” ujarnya.

Selama tiga hari, peserta mendapatkan berbagai materi yang relevan dengan pengelolaan perpustakaan pesantren, antara lain:

  • Pengantar ilmu perpustakaan pesantren
  • Praktik digitalisasi manuskrip pesantren
  • Wirausaha sosial literasi
  • Pembuatan konten perfilman pesantren

Para pemateri berasal dari berbagai latar belakang praktisi dan akademisi yang berkompeten di bidangnya. Materi-materi tersebut diharapkan dapat memperkuat kemampuan para peserta dalam mengelola perpustakaan secara profesional, kontekstual, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

Salah satu pemateri, film maker pesantren Yusrizal Nugroho, menyampaikan pandangannya mengenai posisi pesantren di tengah arus konten digital. Ia menilai pesantren sering kali terkesan terpojok bukan semata karena pihak pesantren, melainkan karena banyak konten yang dibuat belum memiliki substansi yang kuat.

“Keterpojokan pesantren hari ini tidak serta-merta bisa kita salahkan dari pihak mereka. Besar kemungkinan konten-konten yang ada di pesantren cenderung hanya mencari viral. Konten hanya sekadar seremonial, sehingga kurang sarat akan pesan,” paparnya.

Ia menambahkan bahwa lemahnya substansi konten ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai pesantren.

“Akibatnya, konten tersebut mudah untuk diframing oleh beberapa oknum yang tidak suka dengan pesantren,” ujarnya.

Materi penting lainnya adalah sesi praktik digitalisasi manuskrip pesantren. Dalam sesi ini, Fiqru Mafar menyampaikan pentingnya menjaga tradisi literasi ulama terdahulu melalui penjagaan dan digitalisasi manuskrip para kiai.

“Pesantren harus menjaga tradisi literasi ulama terdahulu melalui penjagaan dan digitalisasi manuskrip para kiai serta mengkajinya dengan serius, sehingga khazanah ulama terdahulu akan senantiasa bermanfaat bagi generasi ke depan,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa manuskrip hasil digitalisasi sebaiknya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

“Bahkan, jika diperlukan manuskrip tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga dengan begitu khazanah keilmuan pesantren akan tersebar luas ke lapisan masyarakat,” tambahnya.

Sesi berikutnya menghadirkan Tunggul Harwanto, pendiri Rumah Literasi Indonesia, yang menekankan pentingnya gerakan literasi pesantren yang kontekstual dan dekat dengan generasi muda.

“Literasi pesantren harus memiliki visi misi kontekstual sehingga darurat literasi hari ini dapat teratasi dengan baik. Pengenalan literasi terhadap generasi sekarang harus menyesuaikan dengan kebutuhan mereka, sehingga ketertarikan generasi muda terhadap literasi akan semakin tinggi,” jelasnya.

Menurutnya, membiasakan anak untuk membaca tidak dapat dilakukan dengan paksaan.

“Urutan pembinaan literasi anak hari ini bukan dengan memaksa mereka membaca, akan tetapi beri mereka manfaat membaca melalui contoh yang kontekstual. Sebagai pengelola perpustakaan, kita harus inovatif untuk membuat gerakan literasi sehingga anak akan merasa bahwa ia perlu untuk membaca lebih dalam,” tambahnya.

Muhammad Romli menyampaikan bahwa pelatihan ini memberikan banyak pengalaman dan wawasan baru bagi pengelola perpustakaan pesantren. Ia menilai kegiatan ini penting sebagai bentuk kesadaran kolektif untuk menjaga khazanah keilmuan ulama dan memperkenalkan pesantren melalui media yang kreatif dan edukatif.

“Acara ini membangun kesadaran pentingnya menjaga tradisi tulis ulama dan memperkenalkan pesantren melalui media kreatif yang edukatif,” ungkapnya.

Melalui pelatihan ini, para peserta mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai pengelolaan perpustakaan pesantren di era digital, mulai dari pelestarian manuskrip, pengembangan literasi, hingga penguatan peran perpustakaan sebagai pusat pengetahuan di lingkungan pesantren.

Perpustakaan Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya berharap keikutsertaan dalam kegiatan ini dapat menjadi langkah strategis dalam meningkatkan kualitas pengelolaan perpustakaan di internal pesantren serta memperluas jejaring literasi dengan berbagai lembaga pesantren di Indonesia.