SURABAYA,— Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Pendidikan Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) sebagai upaya memperkuat kapasitas ulama di tengah derasnya arus digitalisasi. Kegiatan ini berlangsung pada 17–20 Juli 2025 di Oakwood Hotel & Residence, Surabaya. Hadir dalam kegiatan ini sejumlah tokoh penting PBNU dan Nasional, seperti Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar, KH Mustofa Bisri, KH Said Aqil Siroj.

Ketua Panitia PPWK, Prof Dr (Hc) Mohammad Nuh DEA, menjelaskan bahwa kegiatan ini dirancang untuk meningkatkan daya respons ulama terhadap dinamika zaman yang kian kompleks.

“PPWK bukan sekadar pelatihan, tetapi ruang dialektika antara logika Nabi Musa dan hikmah Nabi Khidzir. Ulama bukan hanya teknis, tapi juga harus mampu menjawab kebutuhan sosial masyarakat,” ujar mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Sejumlah narasumber nasional hadir dalam forum ini, seperti Wakil Presiden RI ke-13 KH Ma’ruf Amin, serta Menteri Agama RI Prof KH Nazaruddin Umar, serta para kiai sepuh dari berbagai wilayah di Indonesia.

Wakil Rais ‘Aam PBNU, KH Anwar Iskandar, menambahkan bahwa posisi ulama dalam NU adalah sentral dan tidak dapat tergantikan. Hal ini merujuk pada Qanun Asasi yang dirumuskan oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.

“Ulama itu pemilik sah Nahdlatul Ulama, yang lain hanya pengikut. Maka kualitas dan kapasitas ulama harus terus ditingkatkan agar siap menghadapi perubahan zaman,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya pemerataan distribusi kader ulama, khususnya di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), seperti Mentawai, Timika, Manggarai Barat, serta Papua Pegunungan, yang hingga kini belum memiliki syuriah.

Salah satu peserta PPWK, Ustadz Abdulloh, dosen Ma’had Aly Al-Fithrah Surabaya, mengaku bersyukur bisa ikut dalam kegiatan tersebut. Ia menilai kegiatan seperti ini perlu dilakukan secara rutin mengingat tantangan zaman semakin kompleks.

“Saya merasa sangat bahagia bisa belajar langsung dari para ulama Nusantara dan mendapatkan banyak wawasan baru. PPWK membuka ruang untuk meng-upgrade diri dan memperluas cakrawala pemikiran dalam menghadapi problem keummatan,” ungkapnya. Menurutnya, tantangan yang dihadapi para ulama saat ini bukan sekadar wacana keagamaan, melainkan juga tekanan sosial dan ekspektasi masyarakat yang kerap kali keliru dalam memposisikan ulama.

“Sekarang ada kecenderungan masyarakat seolah-olah bisa ‘memesan’ fatwa sesuai kehendak. Maka perlu ditegaskan kembali bahwa ulama adalah benteng utama syariat, yang tidak bisa diintervensi oleh kepentingan pragmatis,” ujar Abdulloh.

Ia mencontohkan isu sound system berlebihan atau “sound horeg” yang turut menjadi bahan diskusi dalam pelatihan tersebut. Baginya, ulama perlu tetap teguh pada prinsip syariat, bukan tunduk pada tekanan budaya populer.

PPWK diselenggarakan dengan pendekatan interaktif seperti diskusi kelompok terfokus (FGD), simulasi kepemimpinan, kajian studi kasus, serta jejaring antarwilayah lintas generasi. Harapannya, lahir kader ulama yang tanggap terhadap isu-isu sosial, kebangsaan, dan global.

Dalam sambutan penutupnya, Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menegaskan bahwa seorang kiai atau ulama harus memandang umat dengan kasih sayang.

Kiyahi: al-ladzīna yanzhurūna ilā al-ummah bi ‘ayni ar-raḥmah
“Kiai adalah mereka yang melihat umat dengan pandangan kasih sayang,” tegasnya.

Menurut KH Miftachul, prinsip tersebut bersumber dari Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 128:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”

Ia menambahkan, ulama adalah sosok yang tidak sanggup melihat penderitaan umat dan karenanya disebut sebagai pewaris Nabi, bukan hanya dalam ilmu, tetapi juga dalam kasih sayang terhadap umat Islam.