Dinamika perubahan zaman menjadikan tarekat pun mengalami beberapa perubahan, tentunya demi sebuah kemaslahatan. Termasuk dalam menetapkan kriteria-kriteria mursyid tarekat. Asalnya, tidak ada ketentuan-ketentuannya. Akan tetapi, karena banyaknya orang yang mengaku-ngaku sebagai mursyid padahal dia bukan mursyid, maka dibentuklah beberapa kriteria seorang mursyid.

Mursyid memiliki kedudukan tertinggi dalam tarekat. Ia merupakan guru yang membimbing para murid tarekat baik secara dhohir maupun batin. Pentingnya guru pembimbing ini telah diungkapkan oleh Syaikhul Akbar Ibnu Arabi: “Barang siapa tidak mempunyai guru pembimbing, maka gurunya adalah setan.” Senada dengan hal tersebut, Syaikh Abdul Qadir Al Jilani menjelaskan bahwa ketika memiliki guru pembimbing namun tidak sesuai dengan kriteria mursyid maka ia adalah dajjal yang akan menuntun semakin jauh.

Oleh karena itu, KH Ahmad Asrori (Mursyid TQN Surabaya) dalam kitab Muntakhobatnya menjelaskan mengenai beberapa kriteria mursyid. Adapun kriteria tersebut adalah:

  1. Mengetahui dan dan meyakini akidah Ahlu Sunah Wal Jamaah dalam tauhid, sehingga ia mengetahui sifat wajib, jaiz dan sifat mustahil baik secara global atau terperinci. Begitu semua rukun iman.
  2. Ma’rifat kepada Allah taala. Sebab dengan ma’rifat kepada Alloh, ia mampu membuktikan ‘aqidah ahlus sunnah wal jamaah dengan kesungguhan dan perbuatan. Serta akan memiliki keyakinan yang kuat dan kokoh bahwa Alloh SWT adalah dzat yang Esa dalam dzatiah-Nya, Esa dalam sifat-sifat-Nya, Esa dalam kekuasaan-Nya dan Esa dalam perbuatan-Nya, baik saat dijadikan tujuan maupun saat disembah (tawajjuh).
  3. ‘Alim atau mengetahui perbuatan-perbuatan yang hukumnya fardhu ‘ain, seperti hukum sholat lima waktu, puasa, haji bagi yang mampu, zakat bagi yang memiliki satu nishob, dan hukum muamalah jika berdagang, dan seterusnya. Sebenarnya, keharusan mengetahui ilmu dhohir bagi seorang mursyid hanya ilmu dhohir yang sesuai dengan kebutuhan oleh dirinya sendiri dan dibutuhkan oleh murid saat menempuh perjalanan menuju Alloh SWT, seperti bersuci, sholat dan sebagainya, bukan semua ilmu dhohir harus diketahui. Seperti persoalan Dima’ (kriminal), Had (pidana), tholaq (perceraian) dan keretakan rumah tangga. Sebab semua itu tidak ada kaitannya dengan urusan suluk, perjalanan menuju Alloh SWT.
  4. Mengetahui dan terbiasa dengan etika-etika yang berlaku bagi hati, termasuk kejernihan dan kesempurnaannya. Memiliki kewaspadaan terhadap kemungkinan datangnya ragam penyakit hati, dan tatacara merawatnya, memiliki pengetahuan dan kewaspadaan terhadap kemungkinan datangnya gangguan-gangguan setan beserta tentara dan jebakan-jebakannya.  Semua itu harus terpantau sibawah bimbingan seorang guru Mursyid yang piawai memberikan bimbingan dan arahan.
  5. Mendapat ijazah, dan diberi izin untuk menjadi guru Mursyid dan memberikan bimbingan serta menunjukkan kehadirat Alloh SWT baik secara langsung maupun melalui tulisan yang tegas dan jelas dari guru mursyid sebelumnya dari guru sebelumnya terus secara berkesinambungan hingga bersambung kepada Rasululloh SAW, dan bukan semata-mata melalui mimpi.

Mengingat kriteria mursyid yang sangat berat, terbesit pertanyaan lalu bagaimana sikap kita ketika tidak menemukan mursyid setelah wafat dan belum ada penggantinya? Dalam hal ini, Dr. Musyafa’ sewaktu kajian muntakhobat yang diselenggarakan forum MKPI menambahkan penjelasan dalam kitab Bahrul Madid Ibnu Ajibah.

Dalam kitab tersebut, Beliau mengungkapkan bahwa ketika muridin, muhibbin, mu’taqidin yang mendapati mursyidnya wafat bahkan sampai dibunuh, maka semua pendereknya jangan lemah, tidak tolah toleh bagi orang yang memutus, tapi tetap hadapi dengan kepala dingin dan sabar. Bukan keinginannya sendiri melainkan tetap istiqamah menjalankan amaliahnya, intropeksi agar bisa tetap teguh didalam medan perang perjuangan nafsu. Semakin meneguhkan dalam urusan duniawi dan ukhrowi. Selalu Ingin dicintai allah dengan istiqomah dan tumakninah nderek tuntunan bimbingan ngayom mursyid yang telah wafat, karena beliau itu manusia pilihan.

Selain itu, Ustadz Musyafa’ juga menambahkan penjelasan mengenai kehati-hatian perihal izin mursyid melalui mimpi. beliau menjelaskan bahwa mursyid yang mendapat izin tersebut telah melakukan banyak perjalanan thoriqah, dan sudah mendapatkan ijazah dari guru-guru selainnya. Itupun sudah memenuhi 4 kriteria yang lain, serta sudah di tahkik oleh para ahli tafsir mimpi. Jadi, tidak meluluh lewat mimpi saja.

Hal tersebut dikarenakan dalam keterangan yang terdapat di kitab Tanwirul qulub hal:525 (lokal), 578 (beirut) dijelaskan bahwa siapapun yang duduk di makam mursyid padahal gak memenuhi syarat maka kerusakannya lebih banyak dari pada maslahatnya. Apalagi menyangkut masalah hati. Akan mendapatkan dosa seperti dosanya perampok.

Walhasil, sikap kita dalam mencari mursyid harus sangat hati-hati dengan melihat kriteria-kriteria yang disebutkan. Karena akibatnya sangat fatal ketika mendapati mursyid yang tidak sesuai kriteria. Semoga kita semua di berikan kesabaran, keistiqomahan dan thuma’ninah dalam menjalankan amaliyah yang telah dituntunkan sehingga diberi keselamatan dunia akhirat lewat Baginda Nabi Muhammad SAW dan para Pewarisnya. Amiin.