
Surabaya, 18 Oktober 2025
Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2025, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya sukses menyelenggarakan kegiatan Ngaji Literasi bertema “Santri Melek Literasi: Integrasi Akal Kritis dan Jiwa Sufistik” pada Sabtu pagi (18/10) bertempat di Lantai 5 Gedung Timur.
Acara ini menghadirkan Gus Achmad Dhofir Az Zuhri, S.Sos., M.Fil. sebagai narasumber utama, serta diikuti oleh puluhan santri dan peserta umum yang mengikuti dengan antusias.
Kegiatan seminar ini terselenggara berkat kerja sama antara BEM Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya dan Gramedia Pakuwon Surabaya, yang bersama-sama berupaya menumbuhkan semangat literasi di kalangan santri.
Dalam sesi seminar Gus Dhofir mengatakan, “Literasi makna harfiahnya adalah aksara atau huruf, jadi literasi adalah mengaksarakan, mendayagunakan huruf, aksara, tidak hanya digunakan sebagai alat untuk menyampaikan media, untuk menyampaikan pengetahuan, tapi media untuk menyelesaikan persoalan-persoalan.”
Gus Dhofir di hadapan para santri dan peserta umum mengatakan, Allah memperkenalkan diri kepada kita melalui huruf, melalui literasi yaitu Al-Quran. Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Memahat kepribadian diri kita melalui huruf, yaitu hadis. Peradaban islam sampai kepada kita hari ini juga kerena ditulisan dalam huruf-huruf, karena itu peradaban kita sebenarnya peradaban teks, peradaban tulisan atau sejarah itu di mulai dengan tulisan.

Dalam pemaparannya, Gus Dhofirmenyampaikan beragam gagasan penting terkait literasi dan peradaban Islam. Menurutnya, peradaban yang maju selalu berawal dari tradisi membaca, sebagaimana yang diajarkan Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa membaca dalam perspektif Al-Qur’an memiliki empat tingkatan, yaitu qiraah, tilawah, tartil, dan tadabbur. Keempatnya menggambarkan proses membaca yang tidak hanya berfokus pada teks, tetapi juga pada konteks dan realitas kehidupan.
Lebih lanjut, Gus Dhofir menyoroti rendahnya tingkat literasi di Indonesia, yang menurut data menempati urutan kedua terendah di dunia dalam minat membaca. Fenomena ini, menurutnya, menjadi ironi besar bagi bangsa dengan jumlah pesantren terbanyak di dunia.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga mengulas pandangan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin tentang pembagian ilmu menjadi ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela. Ilmu yang terpuji, lanjutnya, terbagi lagi menjadi fardhu ‘ain (kewajiban personal yang harus dikuasai setiap individu, dan fardhu kifayah (kewajiban kolektif yang menopang kehidupan masyarakat).
Gus Dhofir kemudian mengaitkan hal tersebut dengan pentingnya santri memiliki akal kritis dan jiwa sufistik agar mampu memadukan kedalaman spiritual dengan ketajaman berpikir.
Ia menutup dengan pesan reflektif bahwa membaca adalah langkah awal menuju perubahan.
“Peradaban dimulai dari membaca. Santri harus membaca bukan hanya teks, tapi juga realitas,” tegasnya.
Di penghujung acara, dilakukan penyerahan cendera mata dari Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya, Ustad Mochamad Abduloh, M.Pd. kepada Narasumber, Gus Achmad Dhofir Az Zuhry.

